السبت، 2 فبراير 2013

Melacak Tasawwuf Dalam Islam dan Bagaimana Sikap Kita Kepadanya (bagian 1)


Falsafah Tentang Eksistensi dan Hakekat Hidup

Abu al-Wafaa’ al-Taftazaniy berkata:

“Tashawwuf secara umum adalah falsafah hidup dan jalan tertentu dalam perilaku yang keduanya diambil manusia untuk merealisasikan kesempurnaan pekerti (al-kamaal al-akhlaqiy), meraih idealism, pencapaian hakekat, dan untuk mewujudkan kebahagiaan ruuhiyyah.  Tashawwuf tersebar luas di berbagai macam agama, filsafat, dan peradaban di berbagai kurun sejarah”.[Abu al-Wafaa al-Taftazaniy, al-Mausu’ah al-Falsafiyyah al-‘Arabiyyah, Ma’had al-Imaa’ al-‘Arabiy, Beirut, Cetakan Pertama (1986), juz 1, hal. 73; bab “at-tashawwuf”]

Sebelum Islam datang, hampir setiap bangsa dan agama memiliki pandangan dan falsafah hidup tentang kehidupan dan eksistensi.  Bahkan, sebelum kedatangan Isa al-Masih (sebelum masehi), bangsa-bangsa besar, seperti Mesir, China, Persia, dan Yunani, telah mendiskusikan dan memformulasikan hakekat tentang wujud (eksistensi), hakekat wujud (eksistensi), dan kehidupan.  Pandangan tentang kehidupan dan eksistensi (al-hayah wa al-wujud) yang paling menonjol pada saat itu adalah pandangan yang menyatakan bahwasanya eksistensi (al-wujud) di alam semesta ini tersusun oleh dua unsur penting, yakni materi (al-maadah/wadag kasar) dan spirit (al-ruuh/wadaq halus).  Dua unsur ini saling bertentangan dan tidak mungkin disatukan.  Spirit (ruh) dianggap sebagai sumber kesempurnaan, kebaikan, dan keluhuran jiwa.  Sedangkan materi dianggap sebagai perkara yang rendah, penyebab kehancuran, ketidaktenangan, dan keburukan bagi manusia. 

Menurut penganut falsafah ini, hakekat hidup atau kesempurnaan hidup adalah ketika spirit (ruh) mampu mendominasi dan mengalahkan materi (wadag kasar).  Pasalnya, alam materi dianggap lebih rendah daripada ruh.  Atas dasar itu, jika seseorang ingin meraih kesempurnaan dan hakekat hidup, ia harus meninggalkan, menjauhi, dan memusuhi semua hal yang berbau materi.  Jika seseorang masih terpenjara oleh materi, dan belum bisa meninggalkan kehidupan materi, maka ia dianggap berbudi rendah, dan belum mencapai hakekat hidup.  Sebaliknya, jika seseorang mampu meninggalkan alam materi, seperti berpakaian kasar, sedikit makan, meninggalkan hiruk pikuk kehidupan dunia (‘uzlah), membujang selamanya, meninggalkan atribut kekuasaan dan intrik-intrik politik, selalu berjalan kaki, dan lain sebagainya, maka, ia telah mencapai kesempurnaan hidup, dan martabatnya sebagai manusia telah mencapai titik yang tertinggi. 

Masih menurut pandangan di atas, seseorang yang berhasil melepaskan diri  dari dunia materi, dengan mudah akan berpindah ke alam yang lebih tinggi, dan meraih puncak hakekat, atau bertemu dengan “Realitas Mutlak” (Tuhan).  Dengan kata lain, seseorang yang telah mencapai tingkatan tinggi, maka, ia akan memiliki kemampuan untuk mengungkap “Realitas Muthlak” atau “Pengetahuan Tertinggi” bukan dengan inderanya atau akal pikirannya, akan tetapi, dengan “perasaan dan bisikan kalbunya”.  Inilah yang dimaksud dengan tingkatan makrifat; yang mana, dalam tingkatan ini, seseorang telah dianggap mengenal Realitas Mutlak, dengan bisikan dan perasaannya yang halus. Ketika seseorang telah meraih hakekat, atau makrifat dengan Realitas Mutlak, maka, semua hal-hal yang bersifat artificial tidaklah menjadi penting.   Di Yunani, paham seperti ini disebut dengan Gnosisme.  Gnosis, adalah kata yang diserap dari bahasa Yunani, yang berarti “makrifat”.   Selanjutnya, kata ini digunakan untuk mengungkapkan pengertian, “pencapaian kepada “Pengetahuan Tertinggi” dengan menggunakan al-kasyf, bukan dengan menggunakan bukti-bukti inderawi atau bukti-bukti ‘aqliy”. [Nasy`at al-Fikr al-Falsafiy, juz 1/186]

Falsafah hidup seperti ini, banyak dianut oleh sufi-sufi di Timur, seperti India, Persia, Mesir, dan sebagainya, baik yang beragama Hindu, Budha, maupun aliran kepercayaan lainnya. Tidak hanya itu saja, falsafah ini juga dianut oleh sebagian besar penduduk Yunani.  Di Yunani, pencetus aliran filsafat ini adalah Plato.  Plato menyatakan bahwasanya “Realitas Tunggal” adalah sumber bathin untuk seluruh eksistensi.  Realitas Tunggal ini memancar pertama kali sebagai “akal yang utuh” (‘aqliy kulliy), lalu memancar sebagai Jiwa Tuhan, selanjutnya memancar menjadi jiwa parsial, seperti halnya particular-partikular parsial yang mencakup dunia materi.  Dunia materi dianggap Plato sebagai sesuatu yang “tidak ada”[1].  Masih menurut Plato, intisari kehidupan manusia adalah menggapai “Dzat Yang Tunggal”.  Bahkan diyakini juga bahwasanya eksistensi hakiki (wujud al-haqiqiy) hanyalah satu, yang bagi Plato, hal itu hanya bisa diwujudkan dengan cara membatasi kecenderungan jasad terhadap materi dan meningkatkan kekuataan spiritualitas. Jika seseorang mampu mengekang kecenderungannya terhadap materi, dan semua hal yang berbau materi, maka jiwanya akan terbang dan bersatu dengan “Dzat Yang Maha Tunggal”.  Pandangan ini dikenal juga dengan istilah “wihdat al-wujud” (kesatuan antara hamba dengan Tuhan).  Dari pandangan ini munculnya pandangan tentang emanansi, filsafat perennial, dan lain sebagainya. 

Pandangan seperti di atas (gnosisme) juga berkembang di kalangan Yahudi dan Nashrani. Di kalangan Yahudi, filsafat gnosisme ini dianut dan disebarluaskan oleh kalangan Yahudi puritan yang disebut dengan Qubala atau Kubala.  Sedangkan di kalangan Nashraniy, gnosisme sudah muncul mulai dari kurun pertama Masehi dan tetap bertahan hingga sekarang. Sebagian ahli sejarah filsafat menyatakan bahwasanya para penganut gnosisme adalah pengikut-pengikut pada sekolah filfasat agama di abad pertama Masehi.  Mereka menggabungkan ajaran-ajaran Isa dengan agama-agama Timur Kuno dan pandangan Neo Platonisme dan Phytagoras.  Mereka percaya bahwasanya hubungan dengan Spirit Tertinggi tidak akan mungkin didapat kecuali dalam amal kebajikan dan memusuhi alam materi yang mereka anggap sebagai sumber keburukan.[al-Mausu’ah al-Falsafiyyah, bab Gnosisme]

Kemunculan Tashawwuf di Dunia Islam

Ada dua latar belakang penting yang mendorong munculnya gerakan tashawwuf di dunia Islam; yakni:

Pertama, munculnya kaum zuhud yang berusaha mengingatkan kaum Muslim dari fitnah dan tipu daya dunia akibat semakin meluasnya kekuasaan Islam di seluruh penjuru dunia, serta melimpah ruahnya kekayaan kaum Muslim.  Keadaan yang serba berlimpahan kekuasaan dan materi ini, sedikit banyak telah mempengaruhi kehidupan kaum Muslim, khususnya kualitas ibadah dan kedekatan mereka kepada Allah swt.   Sebagian besar kaum Muslim mulai terlena dengan keindahan dunia, dan mulai abai terhadap tujuan hidup mereka di dunia untuk selalu beribadah kepada Allah swt.  Muncullah kemudian kelompok zuhud yang menyerukan zuhud terhadap dunia.  Gerakan tashawwuf seperti ini muncul pada akhir abad ke 2 Hijriyyah.  Ulama yang menjadi pelopor tashawwuf model ini adalah al-Harits dan al-Junaid al-Baghdadiy.   Tashawwuf yang mereka kembangkan tetap beranjak dari al-Quran dan Sunnah, dan sama sekali tidak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran filsafat Yunani maupun ajaran-ajaran agama selain Islam.   Hanya saja, sebagian ulama fikih, seperti Imam Asy Syafi’iy dan Imam Ahmad bin Hanbal menentang gerakan tashawwuf yang dikembangkan oleh al-Harits maupun al-Junaid al-Baghdadiy.  

Kedua, adanya sekelompok orang yang terpengaruh filsafat Yunani dan ajaran-ajaran agama selain Islam yang mengembangkan model tashawwuf baru yang belum pernah dikenal sebelumnya oleh kaum Muslim.  Tashawwuf model ini sama sekali tidak dibangun di atas ‘aqidah dan syariat Islam; akan tetapi, didirikan di atas pemikiran filsafat Yunani dan ajaran-ajaran selain Islam, semacam gnosisme, al-fana’, wihdat al-wujud, al-ittihaad wa al-hulul, dan sebagainya.  Di antara tokoh-tokoh yang mengajarkan tashawwuf model ini adalah al-Kindiy, Al-Farabiy, dan Ibnu Sina.  Tashawwuf seperti ini disebut dengantashawwuf falsafiyyah.  Pada dasarnya, tashawwuf model inilah yang menyebabkan munculnya ajaran-ajaran baru tentang hidup dan ibadah yang dianggap menyimpang dari Islam, seperti wihdat al-wujud, ketidakharusan menjalankan syariat bagi yang telah mencapai kedudukan makrifat, alam semesta adalah serpihan dari Cahaya Tuhan, dan lain sebagainya.  Adapun model tashawwuf yang dikembangkan oleh Al-Harits dan al-Junaid, tidak dianggap menyimpang dari agama Islam, oleh sebagian besar ulama Islam, walaupun sebagian ulama menganggapnya sebagai ajaran sesat. 

Benar, kemunculan tashawwuf falsafiyyah di dunia Islam dilatarbelakangi oleh adanya keterpengaruhan sebagian kaum Muslim terhadap pandangan dan falsafah hidup yang dianut oleh pemeluk agama-agama di Timur dan  filosof Yunani, terutama pandangan Plato mengenai eksistensi dan hidup.   Pada paparan sebelumnya telah diuraikan bahwasanya gnosisme adalah paham yang paling banyak dianut oleh para filosof Yunani dan pemeluk agama-agama di Timur.  Pandangan inilah yang di kemudian hari memberikan pengaruh yang amat besar terhadap kelahiran tashawwuf falsafiyyah[2]  di dunia Islam.  Bahkan, kelompok-kelompok sufi dan tarekat yang telah terpengaruh oleh pandangan Plato tentang eksistensi dan hakekat hidup tersebut, mengklaim bahwasanya gnosisme memiliki akar di dalam Islam. Mereka mulai menakwilkan ayat-ayat al-Quran dan Sunnah yang berbicara tentang zuhud, wara’, ‘uzlah, kejujuran, kesederhanaan, dan lain sebagainya untuk melegitimasi adanya tashawwuf falsafiyyah di dalam Islam.

Padahal, Al-Quran dan Sunnah tidak pernah berbicara tentang gnosisme.   Islam tidak pernah menyatakan bahwasanya eksistensi itu terdiri dari materi dan ruh.  Islam juga tidak pernah menganggap ruh (spirit) itu lebih mulia atau lebih tinggi dibandingkan materi. Islam juga tidak pernah mempertentangkan materi dengan ruh, atau sebaliknya.  Islam juga tidak pernah menganggap materi sebagai sumber keburukan, atau sebagai sesuatu yang harus dijauhi dan ditinggalkan demi meraih kesempurnaan hidup.   Islam juga tidak pernah mengajarkan bahwasanya “tidak ada wujud selain Allah swt”.  Islam juga tidak pernah mengajarkan “wihdat al-wujud” (bersatunya hamba dengan Tuhan dalam satu wujud).  Bahkan, Islam telah menganggap siapa saja yang menyakini ajaran “wihdat al-wujud” telah murtad dari agama Islam. 

‘Aqidah Islamiyyah hanya mengajarkan bahwasanya alam semesta, kehidupan, dan manusia diciptakan (makhluq) Allah swt.  Dialah Allah swt, satu-satunya Dzat Pencipta dan Pengatur alam semesta, kehidupan, dan manusia.  Allah swt sematalah yang menciptakan sesuatu dari tidak ada menjadi ada.   Atas dasar itu, yang dimaksud dengan “ruhaniyyah”  (spirit) yang dibahas oleh para filosof sejatinya adalah kesadaran seorang hamba akan hubungannya dengan Sang Pencipta (Allah swt).  Adapun yang dimaksud dengan “aspek ruhiyyah” pada materi adalah kesadaran bahwasanya segala sesuatu yang ada di kehidupan dunia ini diciptakan oleh Allah swt. [Dr Ahmad Qashshash, Nusyuu` al-Hadlarah al-Islaamiyyah, bab al-Falsafah wa al-Tashawwuf]

Ketika Islam tegak di atas keimanan kepada Allah swt, maka Islam telah menetapkan bahwasanya aspek ruhiyyah pada diri manusia, alam semesta, dan kehidupan adalah sebuah kesadaran bahwasanya manusia, alam semesta, dan kehidupan diciptakan oleh Allah swt.  Kesadaran inilah yang menjadi asas bagi kehidupan seorang Muslim, sekaligus sebagai landasan asasi bagi perbuatan seorang Muslim.  Oleh karena itu, Islam tidak pernah mempertentangkan atau memisahkan materi dengan ruh, tetapi, justru menyatukan keduanya dalam penyatuan yang utuh dan menyeluruh.  Ketika memandang kehidupan dunia --termasuk dirinya--, seorang Muslim menyadari sepenuhnya bahwa semua yang ada di muka bumi diciptakan Allah swt.  Kesadaran inilah yang menumbuhkan perasaan akan Keagungan Allah swt Sang Pencipta dan Pengatur.  Selanjutnya, kesadaran ini akan mendorong dirinya untuk senantiasa tunduk dan patuh kepada perintah dan larangan Allah swt.  Ketundukan dan kepatuhannya kepada Sang Khaliq diwujudkan dalam bentuk menjalankan syariat Islam secara menyeluruh.  Tatkala seorang Muslim mengikatkan seluruh amal perbuatannya (materi) dengan perintah dan larangan Allah swt, karena dorongan keimanannya, atau kesadaran dirinya akan hubungannya dengan Allah swt,  maka, ia telah menyatukan materi dengan ruh (mazj al-maadah bi al-ruuh);  dan seluruh kehidupannya telah tegak di atas asas ruuh, yakni ‘aqidah Islamiyyah.
         
Dari penjelasan di atas dapatlah disimpulkan bahwasanya masalah sesungguhnya –dalam pandangan Islam— adalah adanya sebuah kesadaran bahwasanya seluruh eksistensi yang ada di dunia ini adalah diciptakan Allah swt; dan dengan kesadaran ini, manusia diperintahkan untuk hidup sejalan dengan ketetapan Allah swt dan Rasulullah saw; bukan bagaimana manusia menjauhi kehidupan dunia atau mengalahkan jasadnya.   Dalam pandangan Islam, hakekat kehidupan bukanlah dominasi ruh atas materi, atau menyatu dengan Realitas Mutlak, tetapi; menyatukan ruh dengan materi.  Adapun yang dimaksud dengan “menyatukan ruh dengan meteri” di sini adalah; seluruh perbuatan manusia harus senantiasa sejalan dengan syariat Islam, dan perbuatan tersebut tegak di atas ‘aqidah Islamiyyah.

Oleh karena itu, perintah di dalam al-Quran dan Sunnah tentang zuhud, tidak tamak terhadap dunia, mendekatkan diri kepada Allah, tidak cinta terhadap kehidupan dan dunia, dan lain sebagainya, sama sekali tidak bermakna bahwa Islam telah memisahkan materi dengan ruh, atau menjadikan materi sebagai sesuatu yang lebih rendah dibandingkan dengan ruh.  Dengan kata lain, taqwa bukanlah diukur dari sejauh mana seseorang mampu menjauhkan dirinya dari kehidupan dunia, akan tetapi, ketaqwaan dinilai dari sejauh mana seseorang tersebut terikat dengan ‘aqidah dan syariat Islam.  Imam Bukhari menuturkan sebuah hadits dari Anas bin Malik ra, bahwasanya Anas bin Malik ra berkata:

“Ada tiga kelompok orang mendatangi rumah-rumah isteri-isteri Nabi saw untuk menanyakan ibadah Nabi saw.  Ketika dikabarkan kepada mereka ibadah Nabi saw, seakan-akan mereka saling membincangkan ibadah Nabi saw.  Lalu mereka berkata, “Di mana kedudukan kami di sisi Nabi saw? Sedangkan beliau telah diampuni dosa-dosanya baik yang telah lalu dan yang akan datang?.  Maka, seorang di antara mereka berkata, “Adapun saya, maka saya akan sholat malam selama-lamanya”.  Sedangkan yang lain berkata, “Saya akan berpuasa sepanjang hari tanpa berbuka”.  Dan kelompok yang lain berkata, “Saya akan menjauhi wanita, dan tidak akan pernah menikah selama-lamanya”.  Rasulullah saw pun datang, dan berkata, “Apakah kalian yang berkata demikian-demikian?! Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling taqwa kepada Allah dibandingkan kalian semua.  Akan tetapi, aku berpuasa, tetapi aku juga berbuka. Aku mengerjakan sholat, tetapi aku juga tidur.  Aku juga menikahi wanita.  Oleh karena itu, barangsiapa mengabaikan sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku”.[HR. Imam Bukhari]

Hadits ini dengan sharih menunjukkan bahwasanya Islam tidak memusuhi kehidupan dunia (materi) atau menempatkannya sebagai sesuatu yang rendah yang harus dijauhi dan dibenci.   Selain itu, di banyak ayat, Al-Quran telah menjelaskan bahwasanya alam semesta ini diciptakan untuk manusia.  Allah swt berfirman:

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.[TQS Al Israa` (17):70]
 
“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir”.[TQS Al-Jaatsiyah (45):13]

“Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui”.[TQS Al-A’raaf (7):32]
          
Ayat-ayat di atas, dan masih banyak lagi ayat yang lain, menunjukkan bahwasanya semua yang ada di dunia ini diperuntukkan bagi manusia, agar manusia memanfaatkan dan menggunakannya sesuai dengan ketentuan Allah swt.  Berdasarkan ayat-ayat di atas dapatlah dipahami bahwasanya Islam tidak pernah mempertentangan antara kehidupan materi (dunia) dengan ruh atau ruhaniyyah.   Untuk itu, orang yang memakan makanan yang dihalalkan Allah swt karena keimanan dan ketundukannya kepada Allah swt, pasti merasakan Keagungan dan Kebesaran Allah swt, disamping ia juga merasakan kelezatan makanan.  Dalam keadaan seperti ini, ruhaniyyah telah ada di dalam diri orang tersebut, walaupun pada saat yang sama ia menikmati kelezatan materi.  Allah swt berfirman:
 
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah”.[TQS Al Baqarah (2):172]

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”.[TQS Al Maidah (5):87]

Pedagang yang mencari keuntungan dari perdagangannya juga memiliki “ruuhaniyyah” ketika aktivitas perdagangannya selalu terikat dengan hukum-hukum Allah swt.  Disebutkan di dalam hadits:
 
“Pedagang yang jujur dan amanah, kelak akan bersama dengan para Nabi, orang-orang yang benar, dan orang-orang yang mati syahid”.[HR. Imam Al-Daramiy, Sunan al-Daramiy, Hadits No:2539]

Orang yang menjalin hubungan seksual dengan isterinya yang sah, juga dianggap memiliki “ruhaniyyah”, walaupun pada saat yang sama ia juga menikmati kelezatan dunia.  Nabi saw bersabda:

“Di dalam jima’ (yang dilakukan oleh) seseorang di antara kalian ada sedekah.  Para shahabat bertanya, “Ya Rasulullah, seorang di antara kita melepaskan syahwatnya, dan di dalamnya ia akan mendapatkan pahala?  Rasulullah saw menjawab, “Tidakkah kalian tahu, seandainya ia berjima’ dengan wanita yang diharamkan, bukankah ia akan mendapatkan dosa karenanya?  Demikian pula, jika ia berjima’ dengan wanita yang dihalalkan, maka ia akan mendapatkan pahala”.[HR. Imam Muslim]

Nash-nash di atas menunjukkan bahwasanya ketinggian ruh, atau ruhaniyyah sama sekali tidak berhubungan dengan kemampuan seseorang menjauhi materi atau kelezatan duniawi.  Bahkan, nash-nash di atas menunjukkan bahwa seorang Muslim diperkenankan untuk menikmati kehidupan dunia beserta kenikmatannya.  Hanya saja, dalam menikmati kehidupan dunia itu, seorang Muslim harus selalu memperhatikan halal dan haram.  Selain itu, ia tidak boleh menjadikan dunia sebagai tujuan hidup, atau segala-galanya bagi hidup.  Atas dasar itu, ruhiyyah hanya bisa dicapai ketika seseorang selalu mengikatkan seluruh perbuatannya dengan ‘aqidah dan hukum syariat.  Ketika seseorang berbuat sesuai dengan tuntunan Allah swt dan RasulNya (syariat Islam); maka, dia telah memiliki ruhiyyah.  Sebaliknya, jika seseorang berbuat menyimpang dari tuntunan Allah swt dan RasulNya, dia tidak dikatakan memiliki ruhiyyah.


[1] Di kemudian hari ajaran ini disebut dengan ajaran wihdat al-wujud (kesatuan eksistensi).  Menurut ajaran ini, seluruh yang ada alam semesta ini sesungguhnya tidak ada (laa maujud), dan yang ada hanyalah Realitas Tunggal (Al-Wujud/Tuhan).  Alam materi hanya serpihan dari Sang Wujud Hakiki (Tuhan).
[2] Yang dimaksud dengan tashawwuf falsafiyyah adalah tashawwuf yang berdiri di atas pemikiran-pemikiran filsafat Yunani dan ajaran-ajaran agama selain Islam.  Tashawwuf falsafiyyah adalah model tashawwuf yang telah menyimpang dari ajaran Islam.

0 التعليقات:

إرسال تعليق