السبت، 2 فبراير 2013

Menepis Anggapan Salah




Benar, di dalam al-Quran dan Sunnah, banyak ayat dan riwayat yang mendorong kaum Muslim untuk memiliki sifat zuhud, wara’, tidak tamak dan rakus terhadap dunia, condong kepada ketaatan, sibuk dengan dzikir ibadah, dan lain sebagainya.  Hanya saja, sejak masa Nabi saw, kaum Muslim memahami bahwasanya dorongan-dorongan untuk memiliki sifat-sifat tersebut tidak bertentangan atau menafikan kebolehan menikmati dunia.  Para shahabat memahami bahwasanya, zuhud di dunia tidak berarti mengabaikan atau memusuhi dunia.  Perintah zuhud juga tidak pernah dipahami keharusan menyiksa jasad, atau melemahkan jasad selemah-lemahnya.   Perintah untuk zuhud di dunia hanyalah sebatas untuk tidak menjadikan dunia sebagai tujuan hidup atau segala-galanya bagi hidup.   Sebab, tujuan hidup seorang Muslim adalah kehidupan akherat, bukan dunia.   Untuk itu, seorang Muslim diperintah untuk berbuat sejalan dengan ‘aqidah dan syariat Islam agar selamat di kehidupan akherat kelak.  Perintah untuk zuhud di dunia adalah instruksi agar manusia tidak tamak dan rakus dengan dunia, atau menjadikan dunia sebagai perkara yang paling urgen di dalam hidupnya, hingga seseorang melupakan kehidupan akherat. 

Al-Quran dan Sunnah ketika menyebut dunia dan kenikmatan yang ada di dalamnya, keduanya tidak pernah memusuhi dunia, atau memerintahkan kaum Muslim untuk meninggalkan atau menganggap rendah dunia.  Akan tetapi, Al-Quran dan Sunnah memerintahkan kaum Muslim untuk tidak berpaling kepada dunia, hingga melupakan kehidupan akherat.  Misalnya, al-Quran telah menyatakan:

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”.[TQS Al-Kahfiy (18):46)

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning Kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”.[TQS Al-Hadiid (56):20]
          
Di dalam hadits riwayat Imam Bukhari di atas juga dinyatakan bahwasanya Nabi saw mencela orang-orang yang berusaha menyiksa anggota badannya untuk menggapai kedekatan kepada Allah swt.  Imam Bukhari menuturkan sebuah hadits dari Anas bin Malik ra, bahwasanya Anas bin Malik ra berkata:
 
“Ada tiga kelompok orang mendatangi rumah-rumah isteri-isteri Nabi saw untuk menanyakan ibadah Nabi saw.  Ketika dikabarkan kepada mereka ibadah Nabi saw, seakan-akan mereka saling membincangkan ibadah Nabi saw.  Lalu mereka berkata, “Di mana kedudukan kami di sisi Nabi saw? Sedangkan beliau telah diampuni dosa-dosanya baik yang telah lalu dan yang akan datang?.  Maka, seorang di antara mereka berkata, “Adapun saya, maka saya akan sholat malam selama-lamanya”.  Sedangkan yang lain berkata, “Saya akan berpuasa sepanjang hari tanpa berbuka”.  Dan kelompok yang lain berkata, “Saya akan menjauhi wanita, dan tidak akan pernah menikah selama-lamanya”.  Rasulullah saw pun datang, dan berkata, “Apakah kalian yang berkata demikian-demikian?! Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling taqwa kepada Allah dibandingkan kalian semua.  Akan tetapi, aku berpuasa, tetapi aku juga berbuka. Aku mengerjakan sholat, tetapi aku juga tidur.  Aku juga menikahi wanita.  Oleh karena itu, barangsiapa mengabaikan sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku”.[HR. Imam Bukhari]

Hadits ini dengan sharih (jelas) menyatakan bahwasanya menyiksa anggota badan, atau memusuhi kelezatan dunia bukanlah jalan menuju ketaqwaan hakiki.  Ketaqwaan hakiki hanya akan didapatkan ketika seseorang berbuat sejalan dengan sunnah Nabi saw. Atas dasar itu, orang yang meninggalkan kehidupan dunia, atau menyiksa anggota tubuhnya, tidak dikatakan memiliki ketinggian ruuhiyyah.  Pasalnya, perbuatan yang ia lakukan bertentangan dengan sunnah Nabi saw.
            
Pada akhirnya, ketika kaum Muslim mulai bersentuhan dengan agama dan pemikiran-pemikiran asing, mereka mulai berinteraksi dan mengenal pandangan-pandangan keaagamaan dan falsafah kehidupan di luar Islam.  Sebagian kaum Muslim mulai terpengaruh dengan pandangan dan falsafah hidup non Islam.   Keadaan ini mendorong mereka –orang-orang yang terpengaruh dengan agama dan falsafah hidup non Muslim-- untuk menakwilkan nash-nash al-Quran dan Sunnah untuk mendukung “kecenderungan mereka”. 

Perkembangan Tashawwuf di Dunia Islam
           
Menurut Dr. Ahmad al-Qashshash, pada saat kekuasaan Daulah Khilafah Islaamiyyah semakin meluas, pengaruh Islam semakin melebar, dan kaum Muslim berlimpahan dengan kemakmuran dan kesejahteraan, mayoritas kaum Muslim mulai hidup dengan bergelimang harta dan kekuasaan.  Keadaan ini sedikit banyak telah menjadikan mereka lalai dan abai terhadap urusan ibadah dan akhlaq Islamiyyah yang mulia.  Keadaan ini mendorong lahirnya sekelompok kaum Muslim yang mengasyikkan diri dalam ibadah, tahannuts, dan meninggalkan gemerlapnya dunia.  Berkaitan dengan kelahiran ilmu tashawwuf, di dalam Kitab al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun menyatakan:

“Ilmu ini termasuk ke dalam bagian ilmu-ilmu syariat yang baru di dalam agama.  Asalnya, jalan mereka itu selalu ada di sisi generasi salaf umat Islam, dan kalangan pemuka shahabat dan tabi’in, dan orang-orang sesudahnya, sebagai jalan yang benar dan jalan petunjuk.  Asal usul tashawwuf adalah mengasingkan diri dalam ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah swt, menjauhi keindahan dunia dan perhiasannya, serta zuhud dari kelezatan, harta, dan kedudukan yang sering dicari oleh mayoritas orang; dan menyendiri dari manusia dalam kesendirian untuk beribadah kepada Allah swt.  Hal ini, dilakukan oleh kebanyakan shahabat dan generasi salaf.  Ketika telah tersebar luas kecintaan terhadap dunia pada abad ke 2 Hijriyyah dan sesudahnya; dan manusia mulai condong kepada kehidupan dunia, orang-orang yang mengkhususkan diri dalam ibadah menyebut dirinya dengan istilah al-shuufiyyah atau al-mutashawwiyah”.[Ibnu Khaldun, al-Muqaddimah, hal. 381]
     
Imam Ibnu Taimiyyah menyatakan:


Shufiyyah muncul pertama kali di Bashrah.  Orang yang pertama kali membangun lembaga untuk kelompok Shufiy adalah sebagian shahabat ‘Abd al-Wahid bin Zaid.  ‘Abd al-Wahid termasuk salah satu shahabat Imam al-Hasan al-Bashriy.   Di kota Bashrah ada upaya yang sungguh-sungguh dalam hal zuhud, ibadah, takut kepada Allah, dan lain sebagainya yang belum pernah ada di dalam perjalanan sejarah…Menurut mereka, al-tashawwuf itu memiliki hakekat yang dikenal yang telah mereka perbincangkan pada cakupan-cakupannya (definisi), sejarahnya, dan akhlaqnya, sebagaimana perkataan sebagian mereka: al-shufiy itu berasal dari kata shafa min al-kadr (suci dari kotoran), dan terisi penuh dengan pemikiran.  Menurut mereka, emas dan batu adalah sama…..Dan mereka membawa kata shufiy kepada makna al-shiddiiq (orang yang benar); dan seutama-utama makhluk setelah para Nabi adalah orang-orang yang benar (al-shiddiquun), sebagaimana Allah swt berfirman:

“Mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”.[TQS An Nisaa’ (4):69][Syaikh al-Islaam Imam Ibnu Taimiyyah, Majmuu’ al-Fatawa, Kitab al-Tashawwuf, hal. 1656]
            
Adapun kemunculan istilah “al-tashawwuf” pada akhir abad ke 2 Hijriyyah, diisyaratkan dalam sebuah riwayat yang dituturkan dari Imam Asy Syafi’iy ra yang wafat pada tahun 204 Hijriyyah.  Di dalam riwayat tersebut beliau ra berkata,:

 “Seandainya seorang laki-laki menjadi seorang sufi pada awal siang, niscaya ia tidak datang pada saat Dhuhur kecuali ia menjadi orang yang bodoh”. [Imam Ibnu Qayyim al-Jauziy, Talbis Ibliis, hal.465]
            
Di dalam riwayat lain, Imam Asy Syafi’iy ra juga menyatakan:

“Tidaklah seseorang yang bergaul erat dengan sufi selama 40 hari, niscaya akalnya akan condong kepadanya selama-lamanya”.[Imam Ibnu Qayyim al-Jauziy, Talbis Iblis, hal. 456]

Hanya saja, isyarat penting atas kemunculan tashawwuf di dunia Islam, dimulai pada kurun ke 3 Hijriyyah.  Pada kurun tersebut, muncullah Al-Harits al-Muhaasibiy di Iraq.  Beliau adalah seorang ulama besar; pakar dalam masalah ushul dan mu’amalah.   Beliau menulis kitab-kitab yang berbicara tentang zuhud dan bantahan terhadap kelompok Mu’tazilah dan kelompok-kelompok lain. Beliau lahir di Bashrah, dan wafat di Baghdad.  Beliau adalah guru dari ulama-ulama Baghdad pada masanya.  Di antara kitab tashawwuf beliau yang masyhur adalah Adab al-NufusSyarah al-Ma’rifah; al-Masaail fi al-Zuhd; al-Khalwah wa al-Tanafful fi al-‘Ibaadah; dan Mu’aaqibah al-Nafs”..dan lain sebagainya.

Selanjutnya, muncullah ulama tashawwuf terkemuka, seperti Imam al-Junaid. Beliau wafat di Baghdad pada tahun 297 Hijriyyah.   Abu al-Qasim berkata, “Dia (Al-Junaid al-Baghdadiy) adalah seorang sufi dari kalangan ulama Islam”.  Al-Junaid al-Baghdadiy adalah seorang ulama besar, ahli syair, dan bahasa Arab.  Tidak hanya itu saja, beliau adalah ulama pertama yang berbicara tentang ilmu Tauhid di Baghdad. Ibnu al-Atsir berkata tentang Al-Junaid al-Baghdadiy,”Beliau adalah Imam dunia di zamannya”.  Para ulama menggelari beliau dengan Syaikh Madzhab al-Tashawwuf (Syaikhnya Aliran Tashawwuf).  Pandangan-pandangan beliau tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah.  Di antara perkataan beliau yang masyhur adalah, “Jalan kami ini didasarkan kepada al-Kitab dan Sunnah.  Siapa saja yang tidak memelihara al-Quran dan tidak menulis hadits dan tidak sejalan dengannya, maka ia tidak boleh diikuti”. Kitab beliau yang masyhur adalah Dawaa’ al-Arwaah.

Tashawwuf yang mereka ajarkan hanya berkisar kepada ketaqwaan, koreksi diri, pensucian jiwa dari dosa, dan taubat kepada Allah swt.    Ulama-ulama tashawwuf seperti Imam Al-Muhasibiy maupun al-Junaid al-Baghdadiy, tidak pernah mencetuskan pemikiran-pemikiran atau pendapat-pendapat baru dalam tsaqafah Islamiyyah.  Hanya saja, para fuqaha’ senantiasa berhati-hati dan waspada terhadap pendapat dan pemikiran mereka.  Bahkan, sebagian fuqaha mengambil sikap tegas dan berseberangan dengan mereka, dikarenakan kelompok zuhud ini (ulama-ulama tashawwuf) mengajarkan jalan-jalan baru yang sebelumnya tidak pernah dikenal dalam syariat Islam.   Di antara ulama yang mengambil sikap berseberangan dengan kelompok-kelompok zuhud ini adalah Imam Asy Syafi’iy dan Imam Ahmad bin Hanbal.  [Lihat Talbis Iblis, hal. 228; al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 10, hal.342]  Bahkan, perseteruan ulama-ulama Hanabilah terhadap ulama tashawwuf amatlah keras.  Dituturkan bahwasanya ketika al-Harits meninggal dunia, Imam Ahmad bin Hanbal tidak datang menziarahinya.  Ulama-ulama Hanabilah menuduh kelompok-kelompok tashawwuf tersebut dengan kelompok zindiq.  Tuduhan ulama Hanabilah ini berpengaruh kepada masyarakat banyak, bahkan berpengaruh kepada penguasa-penguasa yang ada pada saat itu.  Akibatnya, banyak ulama tashawwuf ditangkap, dan banyak diantara mereka dibunuh.[Dzuhr al-Islaam, juz 1/hal. 228-229]
          
  Di dalam sejarah, kaum Muslim juga mengenal seorang tokoh sufi kenamaan dari Mesir, yang bernama Dzu al-Nuun al-Mishriy”.  Dia membuat ungkapan-ungkapan baru yang sebelumnya belum pernah dikenal di Mesir.  Dzu al-Nuun al-Mishriy mengajarkan bahwasanya sumber makrifat itu tidak hanya dalil ‘aqliy dan naqliy, akan tetapi ada sumber yang ketiga, yakni al-kasyf (penyingkapan hakekat).  Ia juga mengajarkan adanya ilmu al-dzahir (pengetahuan dzahir) dan ilmu al-bathin(pengetahuan bathin).  Ajaran beliau ini, mendapatkan perlawanan yang amat keras dari para fuqaha, di antaranya adalah ‘Abdullah bin al-Hakam, seorang ulama dari madzhab Malikiy dan Ibnu al-Laits, seorang ulama Hanafiyyah di Mesir.  Keduanya tidak setuju dengan Dzu al-Nuun al-Mishriy dan ajarannya.  Keduanya menuduh Dzu al-Nuun al-Mishriy sebagai orang zindiq.  Akibatnya, Dzu al-Nuun al-Mishriy dikirim ke Daar al-Khilafah di Baghdad, dan dipenjara di sana hingga mati. [Dzuhr al-Islaam, juz 1, hal. 169]
            
Permusuhan para fuqaha terhadap ulama-ulama tashawwuf ini semakin keras, ketika pada abad ke 3 Hijriyyah dan sesudahnya, bermunculan ulama-ulama tashawwuf yang menyebarkan ajaran-ajaran yang bertentangan dengan ‘aqidah dan syariat Islam.   Tashawwuf yang diajarkan pada abad ini berbeda dengan model tashawwuf yang diajarkan oleh Al-Harits al-Muhasibiy dan al-Junaid al-Baghdadiy yang masih berpegang teguh kepada al-Quran dan Sunnah sebagai asas pembahasan mereka.   Tashawwuf yang muncul belakang ini banyak dipengaruhi oleh filsafat dan ajaran-ajaran agama lain di luar Islam.   Tashawwuf seperti ini disebut dengan tashawwuf falsafiyyah (tashawwuf yang terpengaruh ajaran filsafat).  Muncullah di dunia Islam ajaran wihdat al-wujud (Penyatuan Wujud Tuhan dalam makhluq)al-ittihaad wa al-hulul (Tuhan Menitis atau Manunggal dengan makhluq)al-kasyf wa al-ilhaam, al-fanaa’, dan lain sebagainya.   Tashawwuf yang dikembangkan pada abad ini tidak lagi berdasar kepada al-Quran dan Sunnah, akan tetapi murni berasal dari filsafat Yunani, atau ajaran agama di luar Islam.  Atas dasar itu, ajaran-ajaran tashawwuf yang dikembangkan pada masa ini tidak boleh dianggap sebagai ajaran Islam, dan pencetusnya tidak boleh lagi disebut sebagai bagian dari kaum Muslim.   Tokoh-tokoh yang mengajarkan tashawwuf model seperti ini, misalnya adalah Ibnu Sina, al-Kindiy, Ibnu Rusyd dan lain sebagainya.  Ajaran tashawwuf mereka sama sekali tidak berasal dari Islam, akan tetapi berasal dari filsafat Yunani, maupun ajaran agama di luar Islam, seperti Hindu, Budha, dan lain sebagainya.   Ajaran mereka tentang al-hulul, al-fanaa’, dan al-wujud, dan lain sebagainya jelas-jelas mereka adopsi dari pandangan filosof Yunani (gnosisme), dan ajaran-ajaran agama Hindu.
            
Namun, pada abad ke 5 Hijriyyah, tashawwuf model al-Harits dan al-Junaid, mulai diresmikan dalam masyarakat Islam, sebagai upaya untuk menandingi tashawwuf falsafiyyah yang jelas-jelas telah keluar dari Islam.  Pada perkembangan selanjutnya, muncullah Imam al-Ghazaliy yang menyerang dan melawan pandangan-pandangan para filosof.  Beliau mengkritik pandangan Ibnu Rusyd tentang filsafat.  Tidak hanya itu saja, selain menolak filsafat, Imam al-Ghazaliy juga memformulasikan pandangan-pandangan tentang tashawwuf yang diambil dari al-Quran dan Sunnah.  Pandangan-pandangan al-Ghazaliy tentang tashawwuf ini tentu saja tidak sama dengan pandangan-pandangan tashawwuf kaum filosof, seperti Al-Kindiy, Ibnu Sina, Farabiy, dan lain sebagainya.

Khatimah
            
Hingga kini, pemikiran dan aliran tashawwuf pun terus berkembang dan dijadikan bahan diskusi dan perselisihan.  Hanya saja, ada beberapa point penting yang harus selalu diperhatikan:
  1. Asas dari pemikiran dan tsaqafah Islamiyyah adalah ‘aqidah Islamiyyah.  Seluruh pemikiran dan tsaqafah yang tidak lahir dari ‘aqidah Islamiyyah, tidak absah disebut sebagai tsaqafah Islamiyyah.  Filsafat Yunani, semacam gnosisme, maupun ajaranwihdat al-wujud, al-ittihaad wa al-hulul, al-fanaa’, dan ajaran-ajaran yang berasal dari agama Hindu dan Budha, bukanlah bagian dari tsaqafah Islamiyyah.  Pasalnya, pemikiran dan ajaran tersebut tidak lahir dari ‘aqidah Islamiyyah, akan tetapi lahir dari ‘aqidah kufur. Atas dasar itu, pemikiran tersebut tidak boleh disebut sebagai pemikiran Islam; dan siapapun yang menyakininya telah keluar dari Islam.
  2. Dasar pijakan untuk menetapkan apakah suatu pemikiran atau aliran telah menyimpang dari Islam, maka, adalah Al-Quran dan Sunnah.  Jika suatu pemikiran atau aliran bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah, maka, pemikiran dan aliran tersebut tidak boleh dimasukkan dalam pemikiran atau aliran Islam. 
  3. Gerakan tashawwuf yang masih menjadikan ‘aqidah Islamiyyah sebagai asas dasarnya, dan menjadikan syariat Islam sebagai miqyas al-‘amal (tolok ukur perbuatan), dan tidak menjadikan filsafat Yunani atau ajaran-ajaran agama selain Islam sebagai asas dan tolok ukur, tidak boleh dianggap keluar dari Islam, atau bukan bagian dari ajaran Islam.  Adapun tashawwuf yang lahir dari filsafat Yunani dan ajaran-ajaran selain Islam, seperti ajaran Budha, Hindu, dan lain sebagainya, seperti tashawwuf yang dikembangkan oleh Ibnu Sina, al-Kindiy, al-Halaj, dan lain sebagainya, termasuk aliran tashawwuf yang telah menyimpang dari ajaran Islam. [Wallahu al-musta’an wa huwa waliyyu al-taufiq]

0 التعليقات:

إرسال تعليق